Pages

Kamis, 10 Maret 2011

Yang Harus diperhatikan dalam Memilih Keris


Sebenarnya tidak ada pedoman yang jitu untuk memilih keris yang baik. Sebab setiap orang, mau tidak mau, akan dipengaruhi oleh subyektifitas pribadinya dalam memilih sesuatu, termasuk keris. Dulu, di Pulau Jawa nenek moyang kita memberikan pedoman bahwa keris yang baik harus memenuhi kriteria sepuh, tangguh, wutuh. Tua umurnya, jelas tangguh-nya, dan utuh barangnya. Karena kriteria ala Jawa itu sulit dipahami teman-teman pecinta keris yang non Jawa, pada tahun 1982 saya membuat kriteria baru yang saya harapkan lebih mudah dimengerti, yakni Indah, Tua, Utuh, disingkat ITU. Maksudnya, keris yang baik harus indah, tua, dan utuh. Tetapi karena sadar bahwa dalam memilih keris seseorang akan dipengaruhi subyektifitasnya, maka sejak tahun 1996 saya mengatakan bahwa kriteria Indah, Tua, Utuh dapat dan boleh dibolak-balik sesuai dengan selera orang yang akan memilih keris itu. Jadi, kriteria itu dapat menjadi Utuh, Tua, Indah, bisa juga Indah, Utuh, Tua.
Yang memakai kriteria ITU, biasanya lebih mementingkan keindahan keris. Soal ketuaannya nomor dua, sedangkan keutuhannya nomor terakhir. Yang penting indah dulu, soal tua dan utuhnya prioritas berikutnya. Yang suka memakai kriteria UTI, biasanya menomor satukan utuhnya keris. Soal tua dan keindahannya urusan belakang. Demikian pula mereka yang menggunakan kriteria IUT, UIT, TUI, atau TIU, masing-masing memiliki prioritasnya sendiri.
Karena perbedaaan kriteria itulah maka dalam pergaulan sesama pecinta keris kita melihat adanya teman yang suka mengkoleksi keris-keris nom-noman yang dibuat setelah zaman Paku Buwono IV atau zaman Hamengkubuwono I. Ada pula yang suka mengkoleksi keris-keris tua, walaupun tidak lagi utuh.
Yang jelas, kita semua harus menghormati selera orang lain. Kita tidak boleh mencela selera orang. Yang harus kita sayangkan adalah kalau untuk mengejar "ketuaan" keris maka orang itu lalu mengeroposkan keris dengan merendam di larutan tertentu; atau untuk mengejar keutuhannya lalu mengikir atau menggerinda bilah keris.
Pemerhati dan kolektor keris lebih senang menggolongkan keris menjadi 2 bagian, yaitu : "keris kuno" dan "keris baru" yang istilahnya disebut nom-noman ( muda usia atau baru ). Prinsip pengamatannya adalah "keris kuno" yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor ( karena belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll.
Sedangkan keris baru ( setelah abad 19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per sparepart kendaraan, besi jembatan, besi rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya. Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana nuklir BATAN Yogjakarta ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi (fe) , arsenikum (warangan) dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris tersebut adalah "keris kuno" , karena unsur logam titanium , baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) atau pun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi. Dari 14 keris yang diteliti , rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti cromium, stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 keris tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung nikel.
Keris baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu ( pengrajin keris) membeli bahan bakunya di toko besi, seperti besi, nikel, kuningan dll. Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah ( misalkan diambil dari pertambangan ) atau batu meteorit, sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa, atau keris baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © KERIS SEBAGAI PESONA BUDAYA NUSANTARA. Mas Singgih